TINDAK kejahatan jalanan yang dalam kurun waktu empat tahun terakhir menunjukkan trend meningkat, mau tidak mau mencoreng Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dan kota budaya. Kekerasan yang dilakukan sekelompok remaja (biasa disebut sebagai genk) tidak hanya menyebabkan jatuhnya korban luka-luka, melainkan juga telah merenggut nyawa. Dalam setiap aksinya kelompok remaja tersebut menggunakan berbagai senjata tajam (sajam), mulai dari parang, pedang, dan celurit. Tak hanya itu, belakangan gir, rantai, dan plat besi pun juga digunakan sebagai ‘senjata’ ketika mereka beraksi.
Keprihatinan tidak hanya menghinggapi para orangtua, melainkan juga dirasakan kalangan pendidik, pemerintah daerah, hingga kepolisian. Rata-rata pelaku maupun korban tindak kejahatan jalanan masih berstatus di bawah umur. Dengan demikian perlu rumusan hukum yang pasti untuk melakukan proses hukum terhadap pelaku kejahatan jalanan. Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah penanganan maraknya tindak kejahatan jalanan sepenuhnya harus dipercayakan pada kepolisian. Meski sudah banyak pelaku kejahatan jalanan yang diproses hukum, pada kenyataannya tindak kejahatan jalanan tidak surut. Salah satu penyebabnya tidak lain kelompok remaja yang melakukan tindak kejahatan jalanan, ingin mencari dan menunjukkan eksistensi diri.
Kelompok remaja yang sering membuat keonaran mayoritas ‘terbentuk’ di lingkup tempat mereka belajar. Selain beranggotakan para pelajar yang masih aktif belajar, beberapa alumni juga turut bergabung. Bahkan satu-dua alumni diketahui memiliki peran sentral dalam aktivitas yang menyimpang, yakni menjurus pada tindak pidana.
Kasus terakhir perihal kejahatan jalanan terjadi Minggu (03/04/2022) di Jalan Gedongkuning Rejowinangun Kotagede, Yogyakarta yang mengakibatkan tewasnya korban Daffa Adzin Albasith (pelajar kelas XI IPS 3 SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta). Korban bersama rekannya terlibat percekcokan dengan sekelompok massa, Akibat sabetan senjata gir di kepalanya, korban mengalami luka parah dan menghembuskan nafas terakhir beberapa saat ketika sampai di rumah sakit. Petugas gabungan dari Polsek Kotagede, Polresta Yogyakarta, Polres Bantul, dan Polda DIY segera ‘memburu’ kelompok yang menyebabkan meninggalnya Daffa Adzin Albasith.
Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indriadi SIK, ketika menggelar jumpa pers, Senin (11/04/2022) menegaskan butuh ketelitian dan kejelian untuk mengungkap kasus tersebut. Meski demikian, dalam waktu sepekan akhirnya petugas berhasil meringkus lima pelaku di rumah masing-masing, pada Minggu (10/4) dini hari. Kelima pelaku yakni FAS alias C (18), pelajar asal Bantul, AMH (19), mahasiswa asal Sleman. Kemudian MMA alias F (20) dari Bantul, HAA alias B (20) mahasiswa asal Bantul dan RS (18) oknum pelajar warga Yogyakarta. “Tersangka RS merupakan eksekutor, ia masih berstatus pelajar. Para tersangka ini teman dalam satu kelompok,” jelas Ade Ary Syam Indriardi.
Dijelaskan, pada kasus meinggalnya Daffa Adzin Alabasit, bukanlah semata-mata sebagai korban kejahatan jalanan yang mencari sasaran secara acak, melainkan didahului dengan satu pemantik. Kelompok korban dengan kelompok pelaku sebelumnya sudah saling ejek mengejek dan saling tantang menantang. Kasus tersebut bermotif ketersinggungan dan saling ejek. “Motif kasus ini karena ketersinggungan dan saling ejek antara dua kelompok yang tidak saling kenal. Jadi korban bukan acak, bukan masyarakat biasa yang beraktivitas dini hari terus berpeluang jadi korban,” jelas Ade Ary
Ade Ary memerinci sebenarnya banyak kasus serupa di wilayah hukum Polda DIY, penanganan dilakukan oleh masing-masing polsek/polres/polresta jajaran Polda DIY, yang menjadi tempat terjadinya peristiwa. Intinya, semua kasus langsung ditangani sesuai aturan hukum yang berlaku. Polisi bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan jalanan, tanpa pandang bulu tetapi tetap mengacu pada perundang-undangan yang berlaku. “Petugas kepolisian mempertimbangkan berbagai aspek hukum dan hak asasi manusia (HAM) dalam menangani setiap tindak kejahatan jalanan,” ucapnya.
Terkait banyaknya kelompok remaja (genk) yang melibatkan pelajar, Ade Ary Syam mengatakan dari catatan yang ada, terdapat puluhan genk yang patut mendapat perhatian khusus dari orangtua, lingkungan sekolah, dan kepolisian. Yogyakarta yang memiliki predikat sebagai kota pelajar. Keberadaan kelompok pelajar yang saat ini bertahan sebenarnya mengalami degradasi makna, dari yang semula positif menjadi negatif. Semula kelompok pelajar berorientasi untuk mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan nama ‘kelompok belajar’. Dalam seminggu setidak-tidaknya dilakukan pertemuan untuk membahas sejumlah mata pelajaran secara bersama-sama.
Tetapi saat ini jarang ada kegiatan kelompok belajar sebagaimana dulu tahun 80-an hal itu menjadi kebiasaan para pelajar di sejumlah sekolah di Yogya dan sekitarnya. Saat ini yang muncul adalah kelompok pelajar (bukan kelompok belajar) dengan aktivitas yang cenderung negatif. Karena itu, Ade Ary Syam meminta semua pihak turut berpartisipasi agar bisa meminimalkan efek negatif dari keberadaan kelompok pelajar yang aktivitasnya melanggar norma sosial dan hukum. “Polisi tetap pada tugas utamanya, yakni mencegah dan melakukan proses hukum terhadap tindak kejahatan jalanan yang sering dilakukan oleh kelompok pelajar,” tandas Ade Ary Syam.
Proses Hukum
Proses hukum terhadap pelaku tindak kejahatan jalanan, baik yang berstatus dibawah umur maupun yang sudah dewasa perlu dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Sejumlah pihak berharap kepolisian bertindak tegas, siapapun yang terbukti terlaibat dalam tindak kejahatan jalanan harus diproses hingga ke meja hijau. Termasuk dalam hal ini, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwana X berharap kepada pihak kepolisian agar melakukan proses hukum terhadap para pelaku tindak kejahatan jalanan. Mereka dianggap telah menodai predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar, sekaligus mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Menurut Sultan, polisi tentu sudah memiliki garis kebijakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Terhadap pelaku tindak kejahatan jalanan diharapkan segera diproses secara hukum, baik yang berkategori di bawah umur maupun yang sudah dewasa. Intinya, harus diproses secara hukum agar menimbulkan efek jera. Sultan menilai kebanggaan sebagai pelaku pelanggaran pidana di kalangan kelompok pelajar sudah tidak masuk akal.
Terkait hal tersebut Pemda DIY memberi perhatian khusus terhadap pelaku kejahatan jalanan agar mereka tidak terjerumus melakukan tindak kriminal. Terlebih banyak pelaku kejahatan jalanan, yang ditolak keluarganya. Pemda DIY memioliki komitmen untuk menangani anak bermasalah melalui kerja sama dengan sejumlah lembaga, untuk melakukan pembinaan setelah mereka menjalani proses hukum. Sultan juga meminta masyarakat turut ‘memerangi’ tindak kejahatan jalanan dengan cara yang benar dan sesuai aturan. Jangan sampai masyarakat kemudian main hakim sendiri terhadap pelaku tindak kejahatan jalanan. Masyarakat boleh membantu polisi, tetapi tidak boleh mengambil alih kewenangan polisi. Sultan menegaskan, penanganan terhadap para pelaku tindak kejahatan jalanan sepenuhnya harus dipercayakan kepada polisi.
Sementara itu, Direktur Indonesia Monitoring Procedur of Law (Implaw) Yogyakarta R Chaniago Iseda SH berharap pihak kepolisian berlaku profesional dan proporsional dalam menangani para pelaku tindak kejahatan jalanan, harus tetap mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Polisi tidak boleh menangani tindak kejahatan jalanan dengan mengedepankan pendekatan gregeten
. Mencermati fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, dimana tindak kejahatan menunjukkan trend meningkat semua pihak harus membangun kesepahaman bahwa aksi tersebut harus dihentikan.
Chaniago Iseda mengharapkan kepolisian tetap fokus melakukan penegakan hukum sekaligus menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa HAM pada anak-anak yang kebetulan sebagai pelaku tindak kejahatan jalanan tidak boleh jadi alasan kendurnya penegakan hukum. Dalam kaitan ini, harus diperhatikan pula HAM pada anak-anak yang menjadi korban kejahatan jalanaan. “Meski masih berstatus dibawah umur, bukan berarti mereka bisa leluasa melakukan tindak kejahatan,” ujar Chaniago Iseda.
Walaupun ada perlakuan khusus yang berbeda dengan pelaku kejahatan dewasa, sebagai bentuk perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan anak, baik proses penyelesaian perkara anak yang bersentuhan dengan hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan sampai tahap bimbingan setelah menjalani pidana, harus tetap mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Hal itu sebagaimana tertuang dalam UU No 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak.
Tentunya penerapan pasal pada anak-anak yang terbukti melakukan tindak jehatan jalanan yang telah menghilangkan nyawa seseorang, penegak hukum tidak boleh ragu-ragu dan harus berani menghukum seberat-beratnya sesuai apa yang tercantum dalam pasal 80 ayat 3 Jo pasal 76 UU No 16 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU RI No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Chaniago Iseda mengemukakan hal yang terpenting jangan sampai ada hukuman atas anak-anak yang tidak manusiawi, seperti penjatuhan hukuman mati atau seumue hidup karena hal tersebut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam pasal-pasal menyangkut anak pada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM RI. Harus dipahami, anak merupakan generasi bangsa yang mudah untuk bertobat daripada orang dewasa ketika sudah menjalani proses hukum. “Penanganan kasus kejahatan jalanan harus memperhatikan semua aspek yang melingkupinya,” tandas Chaniago Iseda. (Haryadi)
sumber : https://www.krjogja.com/berita-lokal/diy/yogyakarta/kejahatan-jalanan-harus-diproses-hukum/